Untuk mendorong kegiatan ekonomi dan investasi di bidang peternakan, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah menyiapkan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja (RUU-CK). Draft RUU-CK ini beredar melalui media sosial dan menimbulkan pro-kontra bagi komunitas peternakan. Sebenarnya niat pemerintah yang terkandung dalam RUU-CK adalah sangat bagus sebagaimana dinyatakan dalam diktum pembukaan RUU tersebut.
Namun demikian, berdasarkan definisi Cipta Kerja yang dinyatakan pada Pasal 1 Butir 1 “upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategi nasional”, implementasinya masih belum jelas. Substansi bidang peternakan di RUU tersebut relatif sama dengan yang terdapat dalam UU No. 18 tahun 2009 jo UU No. 41 tahun 2014.
Dengan adanya penyebutan Pemerintah Pusat dan Percepatan Proyek Strategis Nasional, upaya penciptaan kerja ini tampaknya didasarkan pada proyek semata. Padahal berbagai proyek yang dijalankan pemerintah pusat dalam pengembangan peternakan selama ini, jika tidak mau dikatakan gagal total, seringkali lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya. Ini sudah menjadi rahasia umum.
Klausul pasal pasal dalam RUU-CK bagi perusahaan besar mungkin sangat mudah dipahami dan gampang implementasinya, misalnya tentang impor dan ekspor produk hewan maupun ternak hidup. Dalam konteks impor, cenderung dipermudah dalam persyaratannya. Namun demikian, upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing usaha peternakan rakyat di dalam negeri tidak jelas upaya yang akan dilakukan pemerintah.
Produktivitas peternak rakyat harus ditingkatkan
Peternakan sapi rakyat di Belu NTT (dok Yappi) |
Selama ini diskusi tentang peternakan rakyat untuk semua komoditas ternak masih berkutat kepada populasi saja. Populasi berlebih maupun kekurangan populasi. Ternak sapi pedaging merupakan komoditas ternak yang populasinya bersifat “kekurangan” sedangkan ayam ras pedaging adalah komoditas ternak yang bersifat “kelebihan”. Dua-duanya ternyata memiliki produktivitas rendah dalam konteks bisnis. Ini yang harusnya menjadi perhatian penting dalam RUU-CK.
Pemerintah yang powerfull ini hanya punya jurus “membunuh ternak yang berlebih jumlahnya” dan “mengimpor ternak yang kekurangan jumlahnya”. Jutaan telur siap tetas dihancurkan setiap minggu. Untuk ternak sapi, tahun ini dicanangkan oleh Pemerintah Pusat untuk mengimpor 1.5 juta sapi indukan. Jika dalam RUU-CK ini masih berorientasi populasi dan satu-satunya cara untuk menambah populasi harus dengan impor ternak indukan, itu namanya bukan Cipta Kerja tetapi Cipta Dagang.
Oleh karena itu, jika pemerintah menerapkan RUU-CK, maka penambahan populasi ternak harus berasal dari pembiakan ternak lokal yang ada di Indonesia bukan mengimpor indukan sapi dari luar negeri dalam jumlah besar. Apalagi jika pengadaan ternak indukan itu dilakukan oleh pemerintah kemudian dibagi-bagikan ke peternak rakyat, data empiris menunjukkan kegagalan dan kegagalan lagi. Dengan kata lain, tingkatkan produktivitas ternak yang ada di Indonesia denga meningkatkan produktivitas peternaknya.
Substansi dalam RUU-CK harus berorientasi pada peningkatan produktivitas peternak rakyat karena mereka yang mau dan mampu melakukan pembiakan ternak sapi. Beberapa substansi yang harus ada dalam RUU-CK adalah:
1. Semua usaha peternakan harus berbentuk perusahaan dan tidak ada lagi usaha peternak invididu. Peternak individu berskala kecil harus berhimpun untuk menjadi perusahaan kolektif. Dengan demikian hanya ada dua macam perusahaan peternakan yaitu perusahaan perorangan dan perusahaan kolektif (missal koperasi)
2. Untuk perusahaan perorangan, Pemerintah hanya memfasilitasi dalam bentuk regulasi yang memudahkan kegiatan ekonominya. Untuk perusahaan kolektif, selain regulasi yang memudahkan kegiatan ekonominya, pemerintah juga menyediakan fasilitas umum bagi peternak yang tergabung dalam perusahaan kolektif.
3. Perusahaan kolektif merupakan hasil konsolidasi peternak individu dengan ditentukan jumlah minimal kepemilikan ternak per perusahaan dan ditentukan cakupan wilayah perusahaannya, misalnya satu kecamatan dengan jumlah minimal ternak sapi indukan 1000 sd 5000 ekor
4. Perguruan tinggi secara institutional bersama dengan pemerintah melakukan pendampingan kepada perusahaan kolektif secara terus menerus. Dana pendampingan harus berasal dari Kementerian yang membawahi perguruan tinggi bukan dari Kementerian yang membawahi urusan peternakan
5. Impor produktif harus ditingkatkan sedangkan impor konsumtif harus dikurangi. Misalnya, impor sapi bakalan hidup harus ditingkatkan karena dapat menggerakan kegiatan ekonomi dengan multiefek yang besar. Impor daging beku harus ditingkatkan juga apabila daging tersebut digunakan sebagai bahan industri pembuatan bahan pangan olahan bukan untuk dikonsumsi.
6. Pemerintah hanya boleh bertindak sebagai regulator dan fasilitator saja dan tidak boleh bertindak sebagai aktor dalam kegiatan ekonomi di bidang peternakan karena pada dasarnya masyarakat telah mampu melakukannya
7. Yang diatur dalam RUU-CK ini adalah perusahaan peternakannya bukan ternaknya sehingga pengaturan dalam RUU-CK tidak bersifat teknis semata tetapi harus bersifat bisnis-strategis
8. Lahan marginal perkebunan atau kehutanan atau sejenisnya harus dipermudah untuk digunakan sebagai lahan penggembalaan ternak
9. Perbankan untuk perusahaan kolektif dengan bunga bersubsidi atau melalui pola syariah dipermudah persyaratannya
10. Lembaga keuangan non-bank untuk CSR atau PKBL harus dipacu untuk menggelontorkan dana bagi perusahaan kolektif
11. Fasilitas publik seperti sumur air atau embung harus disediakan oleh pemerintah di peternak rakyat yang telah terkondolidasi dengan baik
12. Industri olahan yang menghasilkan limbah yang bermanfaat bagi pakan ternak harus disisihkan untuk kebutuhan perusahaan kolektif
13. Kewenangan pemerintah pusat yang terlalu besar harus dikurangi menjadi lebih proporsional. Perkuat kewenangan bupati/walikota dalam menata industri peternakan. Terbitkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Peternakan agar bupati/walikota memiliki pegangan hukum untuk mengatur dengan baik, bear, dan adil.
14. Dan masih banyak lagi perihal sepele tetapi memberi dampak besar bagi peningkatan produktivitas peternak yang mengakibatkan peningkatan produktivitas ternaknya.
Penekanan pada penguatan sumberdaya peternak
RUU-CK ingin dapat diimplementasikan secara sukses, maka yang bisa menjalankan adalah peternak rakyat karena jumlah peternak memang sangat banyak. Jika 10 juta peternak rakyat dirancang dan diupayakan untuk memiliki 3 sapi ekor indukan per peternak melalui strategi sinergi dan kolaborasi antar pihak, ada 30 juta ternak indukan sebagai pabrik yang menghasilkan bakalan setiap tahun. Pelan tapi pasti populasi sapi akan meningkat dan kebutuhan dalam negeri kan tercukupi.
Yang penting, sapi indukan tersebut mayoritas berasal dari hasil pembiakan sapi indukan yang sudah ada di Indonesia. Kalaupun ada sapi indukan impor, pengadaannya bukan karena proyek pemerintah tetapi benar-benar bisnis, sebagaimana ketentuan pemerintah yang mewajibkan 5% dari kuota impor sapi bakalan harus berupa sapi indukan.
Peternak rakyat akan sanggup membangun perusahaan kolektif di bidang pembiakan ternak sepanjang dibimbing, diarahkan, didampingi oleh pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, perguruan tinggi, dan pengusaha. Tidak mudah tetapi bisa dilakukan jika ada niat untuk membuat RUU-CK berjalan. Tapi jika pendekatan yang digunakan hanya berdasarkan proyek strategis nasional untuk pengadaan sapi, sekali lagi, itu namanya bukan RUU-CK tetapi RUU-CD (Cipta Dagang).
Peran peternak rakyat yang mencintai pekerjaannya sebagai penggembala ternak harus dimaksimalkan. Mereka perlu ditingkatkan kemampuan teknisnya, penguatan wawasan bisnisnya dan diubah pola pikirnya untuk mau bersatu padu membentuk perusahaan kolektif. Pemerintah juga harus tegas bahwa hanya perusahaan kolektif saja yang mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah. Perusahaan kolektif ini tentu saja yang professional bukan sekedar kelompok jadi-jadian.
Sinergi dan Kolaborasi Antar Instansi
RUU-CK untuk bidang peternakan bukan tanggung jawab Kementerian Pertanian cq Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (DJPKH) tetapi lintas kementerian. Pernyataan sinergi antar lembaga sangat mudah diucapkan tetapi sulit implementasinya. Namun demikian, sinergi tersebut bisa dilaksanakan jika dikomando dari atas. Presiden harus memaksa lembaga di bawahnya bersinergi secara institusional mulai dari pencanaan anggaran sampai ekskusinya dan pembagian kewenangannya di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota harus jelas. Dalam hal ini, peran pemerintah kabupaten/kota harus lebih diutamakan karena pada dasarnya pemimpin rakyat secara langsung adalah Bupati/Walikota.
Uraian di atas bukan wacana belaka tetapi telah diujicobakan dan memberi hasil yang menggembirakan. Melalui program Sekolah Peternakan Rakyat yang dijalankan sejak awal 2013, ternyata komunitas peternak rakyat mampu berlari kencang dalam bisnis kolektifnya. Mereka tidak butuh bantuan sapi kepada pemerintah tapi mereka bersedia berbisnis melalui kemitraan, baik dengan bank maupun lembaga keuangan non-bank.
Sama juga dengan komoditas ternak ayam ras pedaging. Tidak ada dana triliunan rupiah digelontorkan untuk pembangunan industri perunggasan tapi justru melimpah dan oversupply. Jika industri peternakan sapi tidak diintervensi oleh banyaknya kebijakan pemerintah melalui “proyek”, jangan-jangan populasi sapi juga akan melimpah ruah. Omnibus law menjadi penting dan bisa mengubah industri peternakan jika substansi dalam RUU-CK benar-benar mengedepankan peran pelaku usaha. Bukan mengedepankan peran pemerintah.***
Penulis adalah Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak IPB, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Dewan Pembina YAPPI (Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia)