Oleh : Drh Dedy Kusmanagandi MM
TS generasi pertama kini telah banyak yang menempati posisi penting di perusahaan-perusahaan besar, bahkan menjadi pemilik perusahaan kelas menengah. Sebagian lagi, ‘Alumni TS’ banyak yang sudah beralih profesi ke berbagai bidang yang masih terkait dengan bidang kesehatan hewan atau produksi peternakan, tetapi tidak sedikit yang kini bergerak di bidang usaha yang tidak ada sangkut pautnya dengan bidang perunggasan seperti bengkel mobil, furniture, bidang pendidikan, elektronik dan komputer, perdagangan umum, asusransi, serta pelayanan jasa lainnya. Satu hal yang sangat menarik adalah, bagi orang-orang tertentu, kecintaan yang sangat dalam terhadap profesi TS ini sungguh luar biasa. Mengunjungi peternakan yang akrab dengan alam pedesaan, pegunungan, bukit-bukit hijau, adalah momen yang tidak dapat tergantikan. Apalagi bila kita dapat membantu orang yang sedang kesulitan karena ternaknya terserang wabah penyakit. Senyum kebahagiaan peternak jauh lebih bernilai dibandingkan bonus penjualan akhir tahun.
Kesetiaan orang-orang yang menjalankan tugas TS selama lebih
dari 20 tahun bukan suatu hal yang biasa-biasa
saja. Apalagi bila dia menolak ketika dipromosikan ke posisi jabatan yang lebih
tinggi, karena begitu cintanya dia dengan tugas lapangan. Terkadang hal ini membuat pimpinan perusahaan
tidak bisa mengerti.. Beberapa orang luar biasa ini bahkan menjalani tugas
sebagai TS tetap dalam satu perusahaan,
sejak dia lulus kuliah hingga saat pensiun tiba, tanpa terlintas untuk
berpaling ke perusahaan lain. Berbahagialah orang-orang yang dapat melampaui
rentangan waktu yang demikian panjang, dalam satu profesi yang bagi sebagian
orang merupakan tugas dengan tingkat ‘stress’ yang cukup tinggi.
Penetapan anggaran, pembagian area, supervisi, sampai kepada
evaluasi dan audit pemasaran adalah stress pertama yang harus dihadapi TS dalam
melaksanakan tugasnya. Harga produk yang tidak kompetitif, promosi yang
terbatas, biaya operasional yang super hemat, manajemen yang tidak ramah adalah
stress internal yang sering datang secara latent – bisa datang kapan saja. Stress berikutnya datang dari lingkungan
eksternal perusahaan, dimana persaingan
bisnis obat hewan berjalan sangat
kompetitif,. Terbatasnya jumlah pelanggan, jarak dan lokasi peternakan yang
sangat jauh dan sulit dijangkau, fasilitas tidak memadai, tuntutan stamina
fisik yang prima, serta semakin banyaknya perusahaan obat hewan pesaing, baik
lokal atau impor yang bermunculan,
sungguh merupakan suatu tantangan yang tidak ringan untuk dilalui.
Tidak banyak perusahaan yang secara bijak melakukan studi
pendahuluan terhadap kelayakan penempatan seorang TS di suatu daerah. Yang
sering terjadi adalah pengambilan keputusan linier, yakni bila populasi ternak
padat, maka seorang TS harus ditempatkan berapapun biayanya, apapun resikonya,
yang penting nama perusahaan berkibar, tetapi bila tidak ada kontribusi yang
memadai maka TS harus dipecat, minimal harus dimutasi bila target omzet
penjualan tidak terpenuhi. Yang lebih lucu lagi bila pimpinan perusahaan penuh
gengsi. Bila mendengar perusahaan competitor menempatkan seorang TS, maka
perusahaannya pun harus menempatkan TS, kalau bisa lebih banyak jumlahnya.
Studi kelayakan penempatan seorang TS yang asal jadi adalah
desain stress yang struktural. Memang benar,
stress yang terukur dan
terkendali sangatlah membantu produktivitas. Tetapi harus ada ‘shockbreaker’ yang cukup,
karena ketahanan seseorang terhadap stress berbeda-beda. Banyak TS yang
langsung diare begitu mendapat peringatan lisan pertama. Tetapi ada juga yang ‘mental badak’ -, tetap
bebal meskipun sudah mendapat surat peringatan terakhir dan hanya terpecut
ketika dia diremehkan oleh calon mertua atau dilecehkan oleh mantan.
Pemasaran obat hewan seringkali
mengandalkan ‘personal selling’ sebagai ujung tombak pemasaran, sehingga mau
tidak mau, menuntut manajemen harus cerdas dalam mengelola gugus pemasarannya.
Jurus ampuh untuk menggerakkan potensi
dalam diri seseorang adalah ‘motivasi’.
Orang malas adalah orang yang belum termotivasi. Dan suatu target tidak
tercapai adalah karena salah dalam memotivasi.
Banyak manajer merasa telah memotivasi anak buahnya, padahal yang
terjadi adalah, dia hanya memindahkan stress yang diterimanya dari atasan dan
mendistribusikannya kepada bawahan. Banyak manajer yang sudah menguasai ‘ilmu
berkelit’ bila targetnya tidak tercapai. Sebagian bahkan sudah punya ‘bahan
presentasi dan‘kompilasi data yang indah’ yang dapat mendukung argumennya
bila suatu saat ‘Bos Besar’ datang
dengan wajah penuh ketidakpuasan.
Tentu selalu ada manajer
professional yang siap dengan resiko
demi membela bawahannya. Sepanjang dia mampu dia akan pasang badan untuk
menjaga marwahnya, apalagi bagi sesama kolega atau kawan se-almamater. Namun demikian cepat atau lambat, akan tiba
saatnya Bos Besar meminta ‘regenerasi’ karyawan, atau merotasi gugus depan yang
sudah kurang produktif. Bagaimanapun juga tidak banyak orang yang fisiknya
tetap terjaga untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi seorang TS yang
profesional. Mungkin saja masih ada Bos Besar yang harus membuat keputusan
‘sadis’ dengan mencari-cari alasan agar
seorang TS segera “pensiun dini’ dengan biaya PHK seminimal mungkin.
Regenerasi adalah kata yang lebih
bijak dari pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemutusan hubungan kerja
seharusnya diharamkan oleh perusahaan kecuali bila karyawan yang memintanya.
Konsep PHK seharusnya diganti dengan konsep ‘Alternatif Hubungan Kerja’ bagi
pekerja lama, dan konsep Regenerasi bagi penggantian karyawan lama oleh pekerja
baru. Tentu tidak mudah menemukan posisi
yang tepat bagi orang yang akan diregenerasi, hampir sama sulitnya dengan
mencari calon pengganti yang kompeten bagi jabatan TS. Namun regenerasi harus berjalan,
karena ini proses alami. Manajemen harus
menemukan desain yang baik, seperti menjadikan karyawan lama sebagai
distributor, supplier, tenaga ahli, konsultan, atau posisi lain disertai dengan
program ‘Golden Shakehand” bagi yang memang sudah saatnya pensiun.
Pada rentang tahun 2009 - 2019 ini, beberapa orang yang
meniti karir mulai dari jenjang TS sudah mulai memasuki masa pensiun. Seiring dengan hal tersebut, beberapa rekan
senior Dokter Hewan dan Sarjana Peternakan, mengabarkan putera-puterinya telah
ada yang diwisuda mengikuti jejak orang tuanya dan mulai mengisi formasi
lowongan kerja yang tersedia.. Dengan demikian maka regenerasi yang biasanya
terjadi melalui jenjang ‘kakak kelas - adik kelas’ kini telah terlewati, dan
mulai masuk ke periode ‘Bapak kelas - Anak kelas’ atau jenjang ‘orangtua – anak’. Pergeseran ini merupakan periode
bersejarah karena banyak hal telah berubah.
Regenerasi TS kini telah melahirkan
perbedaan yang signifikan dalam komunikasi pemasaran. Era Pemasaran Digital
telah menjadi ranah baru pemasaran obat hewan. Adanya Market Place telah
membuka peluang kreatif dan efisiensi distribusi. Kemudahan akses global B telah
memperbaharui pola hubungan principal, distributor dan pelanggan. Telah banyak
Investor yang langsung berinvestasi karena besarnya pasar Indonesia, dan umunya
menggaet mantan TS senior sebagai partner, sebagai pembuka akses kepada
peternak dari berbagai kalangan.
Segmen peternak kalangan menengah
atas kini dominan sebagai kontributor omzet penjualan, sedangkan segmen
menengah bawah terutama Broiler sudah mulai diabaikan, kecuali yang terjaring
dalam suatu himpunan massif atau tergabung dalam Kerjasama Manajemen. Meskipun
komunikasi tatap muka masih penting, tetapi esensi hal tersebut lebih menjurus
kearah ‘entertainment’ ketimbang proses transfer pengetahuan teknis. Banyak
peternakan kini sudah memiliki tenaga ahli sendiri dan memiliki akses yang baik
terhadap sumber informasi dan teknologi. Implikasinya, TS saat ini dituntut
untuk terus ‘meng-update’ pengetahuan dan keterampilannya secara berkelanjutan
sehingga bertransformasi menjadi Konsultan Profesional yang mampu menjadi
bagian dari solusi. Bagi perusahaan yang memiliki komitmen, hal ini merupakan
tantangan bagi manajemen untuk memiliki Departemen R & D, HRD, IT, UX (User
Xperience) dan Customer Care yang lebih terintegrasi dengan kompetensi tinggi
dan responsif.
Saat ini orang yang mengakses
website terhadap suatu produk yang fungsional akan semakin banyak, sehingga
website yang dimiliki perusahaan dapat dipertimbangkan untuk bertrabsformasi
menjadi sebuah “Aplikasi”. Namun jika
yang mengakses sangat sedikit, maka hal ini juga dapat dibaca sebagai indikasi
bahwa mungkin website atau aplikasi perusahaan kurang menarik, terlalu lambat, terlalu
biroktaris, atau kebutuhan informasi yang diinginkan tidak terpenuhi oleh
website dan aplikasi kita. Memang begitu banyak Web, Blog, Apps atau portal
yang bagus untuk menjadi patok duga (benchmark), tetapi bukan berarti kita
harus bersaing dengan sesuatu yang bukan domain kita. Yang lebih realistis
dilakukan perusahaan untuk membantu TS nya adalah dengan menghimpun semua
informasi yang relevan dengan kebutuhan TS, kemudian mentransformasinya dalam
format yang aplikatif dan menghasilkan benefit. Penampilan website yang
memiliki ‘Link’ dengan pusat informasi yang searah dengan missi perusahaan akan
sangat memudahkan dan memperoleh apresiasi yang tinggi dari pelanggan.
. Era TS generasi baru sudah mulai
merupakan kebutuhan. Namun bukan hanya
Notebook dengan ‘Mobile Modem’ yang harus melengkapi seorang TS. Bekal dari manajemen berupa training dengan
masa inkubasi yang cukup hendaknya mendasari pola komunikasi dan bekerja sama
dalam memperkuat komunitas. Sudah saatnya kita menghadirkan pola persaingan
yang bersahabat. Zaman persaingan ‘berdarah-darah’ hanya tinggal di jalur Gaza
atau Syria. Sedangkan di jalur ‘Parung –
Gunung Sindur’ , ‘Blitar - Kediri – Pare’, Medan – Pantai Labu, Pangkajene
Sidrap atau jalur padat ternak lainnya sudah harus menampilkan peta persaingan
yang “Coop-tative” yaitu “Cooperation in Competitive Season” – Kerjasama dalam
suasana persaingan yang sehat. Ikhtiar memang harus dilakukan, tetapi jangan
sampai mencederai persaudaraan kita sebagai TS yang bermartabat. Semoga regenerasi TS akan menjadikan
bidang peternakan menjadi tulang punggung pertumbuhan nasional. (DKG)
Penulis adalah Wakil Ketua YAPPI