KORPORASI PETERNAK RAKYAT (Prof. Muladno)
Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA |
Korporasi peternak rakyat sebagai bentuk kebersamaan dalam berbisnis ternak merupakan keniscayaan bagi komunitas peternak rakyat di Indonesia. Peternak kecil yang jumlahnya jutaan ini tidak akan pernah bisa berkembang jika mereka melakukan usaha peternakan sendiri-sendiri. Cepat atau lambat mereka akan tergilas oleh kekuatan besar.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (DJPKH) mulai tahun 2020 ini meluncurkan program superprioritas 1000 desa sapi. Walaupun nama programnya hanya menggunakan komoditas sapi, program ini juga mencakup semua komoditas. Tujuan utamanya adalah mewujudkan korporasi sebagai usaha kolektif berjamaah yang dijalankan komunitas peternak rakyat yang tinggal di kawasan terpilih.
Kawasan ini nanti terdiri atas maksimal lima desa yang secara geografis saling berdekatan. Untuk memulai bisnisnya berbasis korporasi itu, pemerintah akan memberikan 100 ekor sapi jantan (untuk usaha penggemukan) dan 100 ekor sapi betina (untuk usaha pembiakan) di setiap desa dalam kawasan korporasi tersebut. Ini benar-benar merupakan pekerjaan besar bagi komunitas peternak rakyat dan resiko gagalnya tinggi jika tidak dirancang secara matang dan bertahap implementasinya.
Lebih dari 85% peternak rakyat maksimum lulusan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dengan skala kepemilikan ternak sapinya 2 - 3 ekor per
peternak. Mereka juga bekerja secara tradisional, sendiri-sendiri, dan
menjadikan ternaknya sebagai tabungan hidup. Kondisi peternak seperti itu sudah
diketahui publik bertahun tahun. Ratusan peternak dalam kawasan itu yang menjadi
target untuk dihimpun dan diarahkan agar dapat menjalankan usaha peternakan
secara kolektif berjamaah yang minimal melibatkan ratusan peternak per
korporasi.
Jika program superprioritas (program atas perintah langsung Presiden RI) dikerjakan sendiri oleh DJPKH, maka dapat dipastikan akan gagal. Bukan karena DJPKH tidak mampu tetapi pekerjaan ini terlalu besar, kompleks, dan aktor utamanya adalah komunitas peternak rakyat berkualifikasi pendidikan rendah. Apalagi dalam program ini direncanakan akan ada pendistibusian 1000 ekor indukan sapi impor per kawasan oleh pemerintah pusat kepada komunitas peternak rakyat di lokasi korporasi. Dengan asumsi harga sapi impor adalah Rp.25juta per ekor, maka akan ada aliran dana minimal Rp. 25 Milyard di setiap per kawasan. Angka ini merupakan salah satu sumber potensi kegagalan program secara keseluruhan. Banyak kepentingan akan bermain di situ.
Jika ingin berhasil, tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut: (1) siapkan komunitas peternak rakyat sebaik-baiknya untuk memahami betul arti dan makna korporasi. Dengan kondisi sumberdaya manusia peternak seperti disebutkan di atas, tahap ini merupakan yang paling sulit. (2) Melakukan uji coba (praktikum) berbisnis kolektif berjamaah melalui kerjasama dengan komunitas masyarakat untuk dapat memahami filosofi usaha bersama sebaik-baiknya, juga untuk mengetahui soliditas tim dan semangat berjamaahnya dalam berbisnis. Minimal diperlukan waktu satu tahun untuk melakukan uji coba kerjasama bisnis. (3) Regulasi yang menjamin keberlangsungan usaha korporasi harus disiapkan dan diterbitkan sebelum program superprioritas diterapkan. (4) Melakukan koordinasi di tingkat bawah yang melibatkan unsur desa, kecamatan, TNI/POLRI, dan dinas terkait tingkat kabupaten/kota untuk merumuskan siapa berbuat apa. (5) Implementasi program korporasi secara resmi di komunitas peternak yang telah disiapkan melalui tahapan tersebut di atas.
Untuk memulai tahapan tersebut, bupati/walikota merupakan pihak yang paling berperan. Pemimpin daerah tersebut harus mengalokasikan anggarannya untuk dapat menggandeng perguruan tinggi agar dosen dan mahasiswa memberikan pembelajaran kepada komunitas peternak rakyat. Institusi pendidikan ini yang paling kompeten dalam mempersiapkan komunitas peternak rakyat agar dapat menjalankan usaha peternakan berbasis korporasi.
Tantangan berikutnya adalah mengajak komunitas masyarakat untuk dapat menjadi mitra bisnis komunitas peternak rakyat sebagai bagian dari uji coba bisnis peternakan secara berjamaah. Ini penting dilakukan sekalian untuk mengetahui tingkat kepercayaan publik terhadap peternak rakyat dalam bermitra bisnis. Selama ini banyak kesan bahwa pemitra kapok bermitra dengan peternak rakyat karena selalu berakhir dengan ketidakberesan.
Masih ada sederetan tantangan lainnya yang dihadapi oleh penyelenggara program korporasi bagi komunitas peternak rakyat ini yang hanya dapat diatasi melalui sinergi dan kolaborasi banyak pihak yang sehati dan sevisi memperbaiki nasib peternak rakyat yang telah lama tak berdaya. Tanggalkan egoistis dan perkuat kolaborasi berlandaskan kesetaraan. Ini harus tercermin dalam semua strategi dan aksi menjalankan program superprioritas 1000 desa sapi.***
Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA adalah Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak Fapet IPB, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Penasehat Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI)
BELAJAR "MELAMPAUI EFEKTIVITAS" DARI BANGUN DIORO, PENERIMA INDO LIVESTOCK AWARD 2016
Beberapa tahun setelah buku tersebut terbit, Stephen mengatakan, dalam hidup ini, efektif saja rupanya tidak cukup. Ada satu hal yang luar biasa dalam hidup ini yang akan menembus efektivitas seseorang, yaitu voice (suara hati, panggilan jiwa). Ia menyebut ini sebagai kebiasaan ke delapan.
Stephen kemudian menulis buku berjudul The 8th Habits, kebiasaan ke delapan, sebagai penjelas pandangannya mengenai suara hati. Dikatakan, kebiasaan ke delapan dapat melampuai efektivitas, menggapai keagungan dalam hidup.
Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan Bangun Dioro, pemilik Bangun Karso Farm di daerah Cijeruk, Bogor. Ia adalah seorang anggota TNI berpangkat Sersan yang mampu memanfaatkan waktu senggangnya untuk mengembangkan peternakan kambing dan domba di kawasan seluas lebih dari 10 hektar dengan memberdayakan masyarakat sekitar.
Di masa kecilnya ia adalah pemelihara kambing di kampung halamannya di Jawa Tengah. Semenjak tinggal di Bogor dan menjadi anggota TNI, kemampuan beternak kambing ia asah dengan melakukan magang di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi. Setelah mulai mempraktekkan ilmunya, usaha peternakan kambing jauh lebih bagus dibanding waktu ia memelihara kambing di kampungnya. Ia makin paham bedanya kebutuhan nutrisi kambing perah, kambing pedaging dan domba, sehingga ia dapat menyediakan pakan yang sesuai dengan kebutuhan. Untuk menyediakan kambing sebagai hewan kurban, ia tahu kapan harus memulai memelihara kambing bakalan. Ia juga paham fermentasi pakan, hijauan mana yang mengandung sianida, juga soal biosecurity serta bermacam penyakit yang mengancam kambing beserta solusinya.
Singkat cerita, peternakan kambingnya semakin berkembang hingga ribuan ekor dan mampu memasok kambing ke lembaga amil zakat, panitia hewan kurban maupun ke masyarakat umum. Ia dijuluki sebagai sersan kambing dan sersan berpenghasilan jenderal, akibat kemajuan usahanya yang luar biasa.
Berbagai penghargaan ia terima baik yang tingkat kabupaten, propinsi hingga tingkat nasional. Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi banyak yang melakukan penelitian dan praktek kerja lapangan di lokasi peternakannya. Peternak dari berbagai penjuru tanah air banyak juga yang berguru kepadanya. Bahkan Presiden SBY pun menyempatkan menyambangi lokasi usahanya setelah mendengar popularitas Bangun Dioro sebagai anggota TNI yang mampu mengembangkan usaha peternakan kambing. Salah satu penghargaan penting adalah Indo Livestock Award tahun 2016 kategori Budidaya dan Inovasi Produk.
Di kawasan Bangun Karso Farm berbagai tanaman ia kembangkan untuk kambing dan domba. Ia menaman indigofera, tanaman asal Afrika, untuk kambing perah. Tanaman “Katuk” yang sangat populer di kalangan ibu-ibu yang tengah menyusui, juga ia tanam untuk makanan kambing perah agar air susu kambingnya lebih produktif. Jenis kambing yang ia pelihara juga aneka ragam, ada domba merino, domba garut, domba persilangan, kambing boer, kambing PE dan sebagainya. Ia sangat lihai menjelaskan plus minus memelihara berbagai jenis kambing dan domba.
Dengan pemeliharaannya yang menerapkan ilmu terkini, kambing perah yang ia pelihara mampu berproduksi 7 liter sehari. Ia juga memelihara kambing dengan pakan ramuan khusus dari China sehingga menghasilkan daging kambing rendah kolesterol.
Bangun mengakui, apapun yang ia pikirkan adalah untuk kambing. “Saya mudah sekali mengeluarkan uang puluhan juta rupiah untuk membuat kandang kambing, sedangkan untuk rumah sendiri sangat hitung-hitungan hehehe”, akunya. Begitupun dalam hal kendaraan. Ia memilih membeli mobil bak terbuka agar kemana-mana jika ketemu limbah pertanian yang bisa untuk makanan kambing bisa langsung dibeli dan diangkut.
Hampir segala urusan dikaitkan dengan kambing. Di kesatuannya juga membantu rekan-rekan dari memelihara kambing. Pun kepada masyarakat sekitar, ia membantu warga berupa kambing. Hidupnya demikian menyatu dengan kambing.
“Saya sendiri heran, kalau ada tugas keluar kota, saya telepon ke rumah yang pertama kali ditanyakan ke istri saya adalah gimana kambingnya, bukan menanyakan kabar keluarga, sampai istri saya protes,” tambahnya setengah bercanda, seraya menambahkan untuk yang satu ini sekarang sudah mulai berlatih menanyakan kabar anak istri.
Bangun Dioro mungkin belum membaca buku The 8th Habits karya Stephen R Covey. Tapi ia sudah melakukan apa yang disampaikan Covey di buku The 8th Habit. Bangun sudah menemukan panggilan jiwanya yaitu hidup di dunia dengan peran utama dalam pengembangan peternakan kambing.
Covey menuturkan, siapapun boleh saja sukses sampai ke ujung langit, namun jika ia tidak memenuhi panggilan jiwanya, maka dia bukan siapa-siapa. Bangun sudah menjadi “siapa” dengan mengembangkan peternakan kambing dengan berbagai inovasinya. ***
OMNIBUS LAW PETERNAKAN (Oleh Prof. Muladno)
Untuk mendorong kegiatan ekonomi dan investasi di bidang peternakan, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah menyiapkan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja (RUU-CK). Draft RUU-CK ini beredar melalui media sosial dan menimbulkan pro-kontra bagi komunitas peternakan. Sebenarnya niat pemerintah yang terkandung dalam RUU-CK adalah sangat bagus sebagaimana dinyatakan dalam diktum pembukaan RUU tersebut.
Namun demikian, berdasarkan definisi Cipta Kerja yang dinyatakan pada Pasal 1 Butir 1 “upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategi nasional”, implementasinya masih belum jelas. Substansi bidang peternakan di RUU tersebut relatif sama dengan yang terdapat dalam UU No. 18 tahun 2009 jo UU No. 41 tahun 2014.
Dengan adanya penyebutan Pemerintah Pusat dan Percepatan Proyek Strategis Nasional, upaya penciptaan kerja ini tampaknya didasarkan pada proyek semata. Padahal berbagai proyek yang dijalankan pemerintah pusat dalam pengembangan peternakan selama ini, jika tidak mau dikatakan gagal total, seringkali lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya. Ini sudah menjadi rahasia umum.
Klausul pasal pasal dalam RUU-CK bagi perusahaan besar mungkin sangat mudah dipahami dan gampang implementasinya, misalnya tentang impor dan ekspor produk hewan maupun ternak hidup. Dalam konteks impor, cenderung dipermudah dalam persyaratannya. Namun demikian, upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing usaha peternakan rakyat di dalam negeri tidak jelas upaya yang akan dilakukan pemerintah.
Produktivitas peternak rakyat harus ditingkatkan
Peternakan sapi rakyat di Belu NTT (dok Yappi) |
Selama ini diskusi tentang peternakan rakyat untuk semua komoditas ternak masih berkutat kepada populasi saja. Populasi berlebih maupun kekurangan populasi. Ternak sapi pedaging merupakan komoditas ternak yang populasinya bersifat “kekurangan” sedangkan ayam ras pedaging adalah komoditas ternak yang bersifat “kelebihan”. Dua-duanya ternyata memiliki produktivitas rendah dalam konteks bisnis. Ini yang harusnya menjadi perhatian penting dalam RUU-CK.
Pemerintah yang powerfull ini hanya punya jurus “membunuh ternak yang berlebih jumlahnya” dan “mengimpor ternak yang kekurangan jumlahnya”. Jutaan telur siap tetas dihancurkan setiap minggu. Untuk ternak sapi, tahun ini dicanangkan oleh Pemerintah Pusat untuk mengimpor 1.5 juta sapi indukan. Jika dalam RUU-CK ini masih berorientasi populasi dan satu-satunya cara untuk menambah populasi harus dengan impor ternak indukan, itu namanya bukan Cipta Kerja tetapi Cipta Dagang.
Oleh karena itu, jika pemerintah menerapkan RUU-CK, maka penambahan populasi ternak harus berasal dari pembiakan ternak lokal yang ada di Indonesia bukan mengimpor indukan sapi dari luar negeri dalam jumlah besar. Apalagi jika pengadaan ternak indukan itu dilakukan oleh pemerintah kemudian dibagi-bagikan ke peternak rakyat, data empiris menunjukkan kegagalan dan kegagalan lagi. Dengan kata lain, tingkatkan produktivitas ternak yang ada di Indonesia denga meningkatkan produktivitas peternaknya.
Substansi dalam RUU-CK harus berorientasi pada peningkatan produktivitas peternak rakyat karena mereka yang mau dan mampu melakukan pembiakan ternak sapi. Beberapa substansi yang harus ada dalam RUU-CK adalah:
1. Semua usaha peternakan harus berbentuk perusahaan dan tidak ada lagi usaha peternak invididu. Peternak individu berskala kecil harus berhimpun untuk menjadi perusahaan kolektif. Dengan demikian hanya ada dua macam perusahaan peternakan yaitu perusahaan perorangan dan perusahaan kolektif (missal koperasi)
2. Untuk perusahaan perorangan, Pemerintah hanya memfasilitasi dalam bentuk regulasi yang memudahkan kegiatan ekonominya. Untuk perusahaan kolektif, selain regulasi yang memudahkan kegiatan ekonominya, pemerintah juga menyediakan fasilitas umum bagi peternak yang tergabung dalam perusahaan kolektif.
3. Perusahaan kolektif merupakan hasil konsolidasi peternak individu dengan ditentukan jumlah minimal kepemilikan ternak per perusahaan dan ditentukan cakupan wilayah perusahaannya, misalnya satu kecamatan dengan jumlah minimal ternak sapi indukan 1000 sd 5000 ekor
4. Perguruan tinggi secara institutional bersama dengan pemerintah melakukan pendampingan kepada perusahaan kolektif secara terus menerus. Dana pendampingan harus berasal dari Kementerian yang membawahi perguruan tinggi bukan dari Kementerian yang membawahi urusan peternakan
5. Impor produktif harus ditingkatkan sedangkan impor konsumtif harus dikurangi. Misalnya, impor sapi bakalan hidup harus ditingkatkan karena dapat menggerakan kegiatan ekonomi dengan multiefek yang besar. Impor daging beku harus ditingkatkan juga apabila daging tersebut digunakan sebagai bahan industri pembuatan bahan pangan olahan bukan untuk dikonsumsi.
6. Pemerintah hanya boleh bertindak sebagai regulator dan fasilitator saja dan tidak boleh bertindak sebagai aktor dalam kegiatan ekonomi di bidang peternakan karena pada dasarnya masyarakat telah mampu melakukannya
7. Yang diatur dalam RUU-CK ini adalah perusahaan peternakannya bukan ternaknya sehingga pengaturan dalam RUU-CK tidak bersifat teknis semata tetapi harus bersifat bisnis-strategis
8. Lahan marginal perkebunan atau kehutanan atau sejenisnya harus dipermudah untuk digunakan sebagai lahan penggembalaan ternak
9. Perbankan untuk perusahaan kolektif dengan bunga bersubsidi atau melalui pola syariah dipermudah persyaratannya
10. Lembaga keuangan non-bank untuk CSR atau PKBL harus dipacu untuk menggelontorkan dana bagi perusahaan kolektif
11. Fasilitas publik seperti sumur air atau embung harus disediakan oleh pemerintah di peternak rakyat yang telah terkondolidasi dengan baik
12. Industri olahan yang menghasilkan limbah yang bermanfaat bagi pakan ternak harus disisihkan untuk kebutuhan perusahaan kolektif
13. Kewenangan pemerintah pusat yang terlalu besar harus dikurangi menjadi lebih proporsional. Perkuat kewenangan bupati/walikota dalam menata industri peternakan. Terbitkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Peternakan agar bupati/walikota memiliki pegangan hukum untuk mengatur dengan baik, bear, dan adil.
14. Dan masih banyak lagi perihal sepele tetapi memberi dampak besar bagi peningkatan produktivitas peternak yang mengakibatkan peningkatan produktivitas ternaknya.
Penekanan pada penguatan sumberdaya peternak
RUU-CK ingin dapat diimplementasikan secara sukses, maka yang bisa menjalankan adalah peternak rakyat karena jumlah peternak memang sangat banyak. Jika 10 juta peternak rakyat dirancang dan diupayakan untuk memiliki 3 sapi ekor indukan per peternak melalui strategi sinergi dan kolaborasi antar pihak, ada 30 juta ternak indukan sebagai pabrik yang menghasilkan bakalan setiap tahun. Pelan tapi pasti populasi sapi akan meningkat dan kebutuhan dalam negeri kan tercukupi.
Yang penting, sapi indukan tersebut mayoritas berasal dari hasil pembiakan sapi indukan yang sudah ada di Indonesia. Kalaupun ada sapi indukan impor, pengadaannya bukan karena proyek pemerintah tetapi benar-benar bisnis, sebagaimana ketentuan pemerintah yang mewajibkan 5% dari kuota impor sapi bakalan harus berupa sapi indukan.
Peternak rakyat akan sanggup membangun perusahaan kolektif di bidang pembiakan ternak sepanjang dibimbing, diarahkan, didampingi oleh pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, perguruan tinggi, dan pengusaha. Tidak mudah tetapi bisa dilakukan jika ada niat untuk membuat RUU-CK berjalan. Tapi jika pendekatan yang digunakan hanya berdasarkan proyek strategis nasional untuk pengadaan sapi, sekali lagi, itu namanya bukan RUU-CK tetapi RUU-CD (Cipta Dagang).
Peran peternak rakyat yang mencintai pekerjaannya sebagai penggembala ternak harus dimaksimalkan. Mereka perlu ditingkatkan kemampuan teknisnya, penguatan wawasan bisnisnya dan diubah pola pikirnya untuk mau bersatu padu membentuk perusahaan kolektif. Pemerintah juga harus tegas bahwa hanya perusahaan kolektif saja yang mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah. Perusahaan kolektif ini tentu saja yang professional bukan sekedar kelompok jadi-jadian.
Sinergi dan Kolaborasi Antar Instansi
RUU-CK untuk bidang peternakan bukan tanggung jawab Kementerian Pertanian cq Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (DJPKH) tetapi lintas kementerian. Pernyataan sinergi antar lembaga sangat mudah diucapkan tetapi sulit implementasinya. Namun demikian, sinergi tersebut bisa dilaksanakan jika dikomando dari atas. Presiden harus memaksa lembaga di bawahnya bersinergi secara institusional mulai dari pencanaan anggaran sampai ekskusinya dan pembagian kewenangannya di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota harus jelas. Dalam hal ini, peran pemerintah kabupaten/kota harus lebih diutamakan karena pada dasarnya pemimpin rakyat secara langsung adalah Bupati/Walikota.
Uraian di atas bukan wacana belaka tetapi telah diujicobakan dan memberi hasil yang menggembirakan. Melalui program Sekolah Peternakan Rakyat yang dijalankan sejak awal 2013, ternyata komunitas peternak rakyat mampu berlari kencang dalam bisnis kolektifnya. Mereka tidak butuh bantuan sapi kepada pemerintah tapi mereka bersedia berbisnis melalui kemitraan, baik dengan bank maupun lembaga keuangan non-bank.
Sama juga dengan komoditas ternak ayam ras pedaging. Tidak ada dana triliunan rupiah digelontorkan untuk pembangunan industri perunggasan tapi justru melimpah dan oversupply. Jika industri peternakan sapi tidak diintervensi oleh banyaknya kebijakan pemerintah melalui “proyek”, jangan-jangan populasi sapi juga akan melimpah ruah. Omnibus law menjadi penting dan bisa mengubah industri peternakan jika substansi dalam RUU-CK benar-benar mengedepankan peran pelaku usaha. Bukan mengedepankan peran pemerintah.***
Penulis adalah Guru Besar Pemuliaan dan Genetika Ternak IPB, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Dewan Pembina YAPPI (Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia)
YAYASAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN INDONESIA (YAPPI)
Tahun 2002- TIM PENILAI
Indo Livestock Expo & Forum pertama kali digelar di Indonesia. Dalam Opening Ceremony diadakan acara pemberian penghargaan Indo Livestock Award oleh sebuah tim penilai.
Tahun 2008 - KPUPI
Komunitas Pengembang Usaha Peternakan Indonesia (KPUPI) mulai bekerjasama dengan PT Napindo Media Ashatama dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, dalam penganugerahan Indo Livestock Award untuk pelaku usaha, lembaga pemerintah dan tokoh perorangan yang berperan besar dalam pengembangan peternakan di Indonesia.
11 September 2015 - YAPPI
KPUPI secara resmi berubah status kelembagaan menjadi Yayasan dengam nama Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI)
YAPPI terus mengembangkan perannya sebagai lembaga independen yang memiliki kapasitas dan profesionalisme di bidang penilaian/penjurian di bidang peternakan
Perubahan KPUPI menjadi YAPPI merupakan bentuk komitmen untuk berkarya lebih profesional.
Salah satu langkahnya adalah seluruh personal YAPPI telah tersertifikasi sebagai auditor ISO 9001
Komitmen YAPPI
- Menjunjung tinggi profesionalitas, Idealitas dan Sinergitas dalam bertindakIndependen dan obyektif dalam bersikap
- Peduli terhadap pengembangan dan peningkatan kualitas usaha peternakan di Indonesia
- Antisipatif terhadap kemajuan ilmu dan pengetahuan teknologi peternakan dan Kesehatan hewan
Di Kab Belu NTT, 2011 |
Kegiatan YAPPI
- Dewan Juri Indo Livestock Award setiap tahun
- Dewan juri kegiatan lainnya
- Seminar /webinar Award Winner Experience
- Training ISO 9001 dan sejenisnya
- Seminar agribisnis
- Konsultan peternakan & kesehatan hewan
Verifikasi di Prov Jateng 2019 |
BPTU Padang Mangatas 2014 |
Slamet Quail Farm Sukabumi, 2014 |
Verifikasi Biosekuriti di Demak 2018 |
PROFIL PENERIMA INDO LIVESTOCK AWARD ; SLAMET WURYADI MEMPOPULERKAN WIRAUSAHA PUYUH
"Puyuh ini endemik Indonesia dan dengan jumlah penduduk 260 juta jiwa, populasi puyuh di Indonesia baru ada sekitar 7 juta ekor dengan produksi harian sebanyak 4 juta butir telur puyuh. Belum signifikan dengan pemenuhan kebutuhan," bebernya.
"Penularan virus" bisnis burung puyuh ini dilakukan Slamet secara bottom up yaitu langsung kepada peternak yang ingin ikut merasakan peluang besar dari puyuh ini, sehingga mampu menjadi petani yang mandiri.
Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Sub 1 Cikembar yang didirikan bersama kawan-kawan peternak puyuh di tahun 2010, menjadi motor penggerak Slamet untuk terus menularkan semangat berbisnis burung puyuh ke daerah lainnya.
Diakui oleh Slamet keuntungan per butir telur puyuh memang hanya Rp 100 saja, tetapi produksi telur per hari mencapai 26 ribu telur bisa mencapai Rp 26 juta untuk 16 peternak puyuh yang ada di sekitar Cikembar, Kabupaten Sukabumi.
Usaha penularan virus bisnis burung puyuh tersebut kini sudah mencapai
1.300 peternak di seluruh Indonesia. "Awal mula saya berbisnis karena saya
lihat peluang dari bisnis puyuh ini, tidak ada pemain besarnya. Kunci bisnis
dari agribisnis adalah market dulu baru berbudidaya. Jangan Dibalik!. Bakal
Gatot (Gagal Total) !," tukasnya.
Slamet (tengah) dengan Bambang S (kiri) dan Setya Winarno dari Yappi |
Kini untuk menyebarluaskan ilmu puyuh yang dimiliki, Slamet mengembangkan pojok wirausaha dimana mahasiswa dari berbagai wilayah Indonesia, banyak yang magang di tempatnya. Tak terkecuali santri tani millenial yang diakomodir oleh Kementerian Pertanian.
Cinta Puyuh
Artikel ini bersumber dari tabloidsinartani.com dengan beberapa penyesuaian
STRATEGI CORONIAL
Prof. Muladno |
Sasaran utamanya adalah terwujudnya usaha yang efisiensi, efektif, dan produktif dalam rangka meningkatkan daya saing produk peternakan di pasar global. Integrasi vertikal yang telah dijalankan perusahaan raksasa multi-usaha harus dipertahankan dan ditingkatkan lagi efisiensinya. Bagi perusahaan mono-usaha, integrasi horizontal mutlak dilakukan. Era sekarang tidak mungkin lagi perusahaan mono-usaha melakukan sendiri, tetapi harus berkolaborasi. Integrasi horizontal memiliki makna kolaborasi antar pemangku kepentingan secara tersistem dan terukur, baik dengan instansi pemerintah, instansi perguruan tinggi, instansi perusahaan, dan komunitas peternak.
Konsolidasikan peternak rakyat supaya menjadi makin eksis melalui pendidikan dan pemberdayaan. Ini adalah peternak yang betul-betul peternak. Bukan peternak yang baru lahir karena adanya proyek.
Organisir peternak yang terkonsolidasi agar mau membentuk perusahaan kolektif berjamaah atau koperasi. Pembentukan koperasi ini harus bernuansa bottom-up dalam upaya membuat komunitas peternak faham betul makna berkoperasi. Mendidik dan memberdayakan adalah kunci utama untuk suksesnya mengonsolidasikan dan mengorganisir komunitas peternak rakyat.
Partnership (mitra setara) harus dijadikan landasan dalam kerjasama bisnis dengan siapapun. Tidak ada superior-inferior dalam bekerjasama tetapi lebih bernuansa saling membutuhkan.
Anggaran pemerintah seharusnya digunakan untuk memfasilitasi semua komunitas peternak yang telah terkonsolidasi dan terorganisir dalam rangka mempercepat terbentuknya usaha kolektif berjamaah yang lebih profesional.
Kolaborasi empat pihak yang terdiri atas Academician, Businesman, Government, dan Community (komunitas peternak rakyat) secara institusional harus diwujudkan secara legal formal yang di back-up dengan regulasi yang kuat kedudukannya, misalnya Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah.
Mari bersama corona mencari berkah!!***
Penulis adalah Guru Besar Fapet IPB , Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Pengurus YAPPI (Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia)
Artikel ini telah dimuat di Majalah Trobos edisi Juli 2020